Tuesday, October 3, 2023
Kolom

Ada apa di balik fatwa tahdzir terhadap serial Turki?

TURKINESIA.NET – KOLOM. 19 Februari 2020, Global Fatwa Index (GFI) yang berafiliasi ke Egypt’s Dar Al-Ifta (Lembaga Fatwa Mesir) mempublikasikan analisa sejumlah ‘politisasi fatwa’ yang dilakukan oleh lembaga keagamaan Turki serta mengkritik kediktatoran dan ‘ekspansi’ Erdogan ke negara-negara Arab.

GFI juga ‘menuduh’ bahwa Erdogan bermimpi ingin mengembalikan Kekhalifahan Turki Utsmani; melalui film Turki seperti film Valley of The Wolves dan serial drama Dirilis Ertugrul yang oleh media Arab, analisis fatwa dari GFI tersebut dianggap sebagai tahdzir dari Lembaga Fatwa Mesir (Dar Al-Ifta Al-Misriyyah) terhadap drama Ertugrul yang kemudian menjadi bahan tertawaan dan olokan di media sosial, karena Dar Al-Ifta seharusnya lebih memprioritaskan mentahdzir film-film dan sinetron-sinetron yang merusak akhlak (bahkan di bulan Ramadhan) dari channel-channel semisal MBC group yang bermarkas di Dubai, ketimbang terperangkap dalam lingkaran politik yang justru juga bisa menjerumuskannya dalam politisasi fatwa.

‘Tahdzir’ GFI terhadap drama Ertugrul sedikit aneh dan mengejutkan bagi sebagian orang yang melihatnya hanya sebagai sebuah fatwa agama tanpa ada kaitannya dengan politik. Namun, beberapa rentetan kejadian dalam dunia hiburan di Saudi, Emirat dan Mesir sendiri sejatinya erat kaitannya dengan masalah politik negara-negara tersebut terhadap Turki di kawasan; embargo Qatar, konflik Suriah dan Libya dan juga mengerucut pada satu kata kunci; Ikhwanul Muslimin.

April 2018 drama Ertugrul yang mendunia dihentikan penyiarannya oleh Channel MBC 1 Saudi. Alasannya? Mungkin drama dirilis Ertugrul memang tidak semuanya berpijak pada fakta sejarah, atau karena dalam drama tersebut muncul sosok Sufi Ibnu Arabi Al-Andalusy (guru spiritual Ertugrul) yang dikafirkan oleh gerakan Wahabiyah Saudi? Bisa jadi. Tapi, dihentikannya drama Ertugrul oleh MBC1 Saudi tidak bisa dipisahkan dari kejadian politik Timteng; baik di Suriah ataupun Qatar.

Sebagaimana diketahui, Arab Saudi dan beberapa negara teluk yang memboikot Qatar tahun 2017 berang dengan sikap Turki yang menyokong penuh Qatar serta malah mendirikan pangkalan militernya di Qatar. Di Suriah, Saudi yang dari awal menjadi pendukung utama oposisi (FSA) dan memasok senjata untuk FSA akhirnya meninggalkan FSA dan justeru berdiri bersama Paman Sam menyokong SDF (Pasukan Demokratik Suriah yang dianggap teroris oleh Turki) yang didominasi oleh suku Kurdi di Raqqah; hal yang membuat Turki murka. Selanjutnya? Jangan lupa dengan mutilasi Jamal Khassoghi di konsulat Saudi di Istanbul Oktober 2018. Saudi, mungkin ingin membungkam dan membunuh dua burung pipit (Turki yang menjengkelkan dan Khassoghi yang berisik) dengan satu batu. Sayang, aksi MBS malah menjadi bumerang dan menjadikannya dalam tekanan dunia Internasional.

Jika kita menoleh sedikit ke belakang, dukungan Saudi dan Emirat terhadap Abdul Fattah As-Sisi yang mengkudeta Presiden Muhammad Mursi serta kecaman Erdogan terhadap rezim As-Sisi kian memperumit hubungan Turki-Saudi. Terlebih lagi jika kita membuka kembali lembaran sejarah lebih kurang 200 tahun ke belakang; ketika Muhammad Ali Pasya (Gubernur Utsmani di Mesir) meluluhkanlantakkan Kerajaan Saudi fase pertama. Tidak mengherankan jika kemudian dinasti Saudi yang identik dengan Gerakan Wahhabi melihat kekhalifahan Usmani sebagai kerajaan tasawwuf yang kufur.

Tahun 2019, Saudi merilis film Born a King, kisah perjalanan pangeran Faishal rahimahullah (yang kemudian menjadi salah satu raja Saudi yang paling dicintai umat Islam karena sikap heroiknya yang mengembargo minyak ke Amerika) ke Britania Raya untuk tujuan diplomasi tahun 1919. Selain meminimalisir pengaruh drama Turki, MBS mungkin ingin menjelaskan kepada rakyat Saudi bahwa remaja tanggung juga layak menjadi raja. Sayang, film itu hanya menceritakan sepenggal kisah masa remaja Pangeran Faishal, karena kehidupan Asy-Syahid Malik Faishal yang konsisten membela masalah Palestina dan kedekatannya dengan ulama IM tidak perlu diceritakan dalam bentuk serial drama. Btw, salah satu penasehat Raja Faishal dan orang kepercayaannya untuk negara-negara Afrika adalah Al-‘Allamah Al-Mujahid Asy-Syeikh Muhammad Mahmud As-Sawwaf Al-Azhari (Muraqib ‘Am pertama Ikhwan Irak dan salah satu tokoh pendiri Universitas Islam Madinah – yang kini memusuhi IM).

MBC Emirat sendiri kemudian juga memproduksi dan menyiarkan drama Kingdom of Fire; sebuah drama dengan setting abad pertengahan ketika Sultan Utsmani Selim I menyerang dinasti Mamluk dan mengakhiri kerajaan para mantan budak itu di Mesir. Pertanyaannya adalah: Untuk apa Emirat menghabiskan 40 juta dolar Amerika untuk sebuah drama 14 episode? Sejarah dan nasionalisme kah? Sejarah nasionalisme apa yang ingin Emirat banggakan? Kingdom on Fire tidak ada hubungan sama sekali dengan Emirat. Kecuali, jika Emirat ingin membendung pengaruh drama Turki sekaligus menyerang sejarah kekhalifahan Turki Utsmani dengan menampilkannya dalam wajah sadis penuh darah dalam penaklukkan Mesir. Sejatinya, raja-raja dinasti Utsmani sebagaimana dinasti-dinasti Islam lainnya pastilah melakukan peperangan dan tentu sebagian mereka melakukan kezaliman. Namun memframing anak cucu Sultan Muhammad Al-Fatih sebagai sebuah bangsa haus darah yang menjajah negara Arab tentu tidak layak dilakukan seorang muslim.

Kebencian Emirat, Saudi dan Mesir terhadap Turki makin memuncak ketika Government of National Accord di Libya yang diakui dunia internasional kemudian meminta Turki mengirimkan pasukannya ke Libya untuk membendung serangan Jenderal Haftar (yang didukung Emirat, Saudi & Mesir) terhadap Tripoli.

Januari 2020 Liga Muslim Dunia yang berpusat di Mekkah, Saudi, yang dihadiri oleh banyak ulama seperti Mufti Mesir, Mufti Saudi, Syeikh Sudais, Syeikh Bin Bayyah dan lain-lain mengecam campur tangan Turki di Libya. Asya’irah dan Wahhabiyyah sepakat mengecam Turki, dan tentu saja ini bukan politisasi fatwa. Adapun serangan militer dan campur tangan Emirat-Saudi di Yaman yang menjadikan salah satu sebab puluhan ribu balita Yaman mati kelaparan maka Liga Muslim Dunia memilih untuk diam. Jika GFI mengkritik kediktatoran Erdogan, lalu apakah As-Sisi bukan diktator yang perlu dikritik? Atau apakah sikap Haiah Kibar Ulama Saudi yang mengharamkan perempuan menyetir mobil dan menuduh mereka yang membolehkannya sebagai orang-orang liberal lalu tiba-tiba membolehkannya ketika diminta oleh penguasa bukan politisasi fatwa? Lalu apa sebenarnya politisasi fatwa?

Penulis: Taufik M Yusuf Njong, Mahasiswa International University of Africa, Khartoum, Sudan
3.7 3 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
error: Content is protected !!
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
%d bloggers like this: