Friday, March 29, 2024
Kolom

Saudi dan Ikhwan siapa yang membutuhkan?

Chapter 1.
**

Sebagaimana diketahui, kerajaan Saudi modern lahir atas dasar koalisi antara Bani Sa’ud dan Alu As-Syaikh (keturunan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, pendiri gerakan wahabisme). Selain itu, pasukan Raja Abdul Aziz juga didukung oleh tentara kabilah-kabilah badui Nejd yang dikenal dengan GERAKAN IKHWAN BADUI (saya menambah kata Badui untuk membedakannya dengan organisasi IM Mesir.

Syeikh Hafiz Wahbah (diplomat dan penasehat Raja Abdul Aziz dari Mesir) menuturkan dalam kitabnya ‘Al-Jazirah Al-Arabiyah Fi Al-Qarn Al-‘isyrin’ (Cet Lajnah At-Ta’lif Wa at-Tarjamah Wa An-Nasyr, tahun 1935 hal: 33-34) bahwa tahun 1927, King Abdul Aziz berencana untuk menarik air zamzam dengan pompa air modern yang akan di impor dari Mesir. Pada waktu itu, air zamzam masih diangkat secara manual dengan timba-timba dari kulit oleh orang-orang Badui yang memanfaatkan jasa timba dan angkut air zamzam sebagai mata pencaharian mereka. Pipa-pipa mulai dipasang. Para Badui Nejd menyadari bahwa proyek pompa air modern ini akan menutup mata pencaharian mereka. Karenanya, mereka menghasut orang Nejd yang ada di Mekkah untuk menentang proyek tersebut. Alasannya adalah bahwa proyek tersebut akan mendatangkan bala terhadap umat Islam. King Abdul Aziz yang butuh pada pasukan Badui yang loyal pada waktu itu tidak punya pilihan lain kecuali menghentikan proyek tersebut.

Sikap jumud kaum Badui Nejd terhadap hal-hal baru menyadarkan King Abdul Aziz bahwa proyeknya untuk memodernisasi Kerajaan Arab Saudi yang baru seumur jagung menghadapi penentangan dari loyalisnya sendiri. Selain itu, para ulama Wahabi yang Ultra Konservatif juga memfatwakan haramnya telegram. Karena hal tersebut akan mendatangkan bala dan membuat Kerajaan dikuasai Inggris. Tak hanya itu, Lembaga Amar ma’ruf nahi mungkar yang didirikan tahun 1940 juga mengharamkan sepeda dan menjulukinya dengan ‘Hishon Iblis’ atau kuda Iblis. Menurut keyakinan wahabiah konservatif, sepeda berjalan karena adanya konspirasi iblis. Meraka juga mengharamkan anak-anak perempuan untuk sekolah. Fatwa haram terhadap hal-hal modern terjadi juga pada televisi (kemudian sedikit demi sedikit mulai melembek dan diralat, perempuan juga mulai dibolehkan menonton televisi dengan syarat mereka tetap menutup wajah mereka agar tak dilihat oleh penyiar berita laki-laki), photography haram secara mutlak (kecuali photo para raja. Dikemudian hari semakin melembek dan dibolehkan dalam kondisi darurat) dan radio diharamkan (karena termasuk meniru ciptaan Allah berupa suara) serta hal-hal lainnya yang berbau modern.

Karena hal inilah, King Abdul Aziz ‘mengimpor’ banyak ulama dan cendekiawan muslim dari Mesir (seperti Hafiz Wahbah dll), Suriah (seperti sejarawan Khairuddin Az-Zirikly dll), Irak (Rasyid Ali Al-Kailany dll), Lebanon (Fuad Hamzah dll), Palestina ( Rusydi Malhas dll) untuk berkontribusi dalam membangun Saudi baru. Yang dipanggil tentu saja mereka yang sedikit banyaknya dekat dengan ideologi wahabisme atau minimal tidak menentang frontal wahabisme. Para sejarawan menamakan mereka dengan Salafiyah Ishlahiyah (salafi reformis yang moderat) untuk membedakannya dengan Wahabi Saudi yang ultra Konservatif.

Selain mengundang mereka ke Saudi, King Abdul Aziz juga menjalin hubungan baik dengan tokoh-tokoh Salafiyah Ishlahiyah di Mesir seperti Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib dll. Meski bermanhaj salafi, mereka tidak menolak modernisasi. Hubungan mereka dengan Syeikh Muhammad Abduh yang cenderung rasional bisa menjelaskan arah pemikiran mereka. Merekalah yang awalnya berjasa mencetak manuskrip-manuskrip kitab para ulama Salafi seperti Ibnu Taimiyah cs.

Hasan Al-Banna sendiri menceritakan dalam kitabnya ‘Mudzakkirah Ad-Dakwah Wa Ad-Da’iyah’ (Cet Dar Ad-Dakwah 2011 hal: 70) bahwa pada tahun 1928 Syeikh Hafiz Wahbah (Penasehat Raja Abdul Aziz) meminta kepada Jam’iyah Syubbanul Muslimin (salah satu pendirinya adalah Syeikhul Azhar Syeikh Muhammad Khidir Husein At-Tunisy) agar mengirimkan tenaga pengajar ke Saudi. Sayyid Muhibbuddin Al-Khatib (Paman Syeikh Ali At-Thantawi) kemudian merekomendasikan Hasan Al-Banna (yang waktu itu merupakan salah satu tokoh muda Jam’iyah) untuk ke Saudi. Namun, persyaratan yang disyaratkan Al-Banna ke Syeikh Hafiz Wahbah dan birokrasi Mesir dan Saudi yang rumit waktu itu membuat rencana itu batal. (Mesir saat itu belum mengakui kerajaan Saudi).

Dari penjelasan diatas kita bisa mengambil kesimpulan bahwa sejak awal berdirinya, KSA lah yang membutuhkan para ulama dan da’i reformis untuk diajak membangun Saudi mengingat bahwa Wahabiyah Konservatif sulit menerima hal-hal baru dan modern.

Bersambung…

Penulis: Taufik M Yusuf, mahasiswa International University of Africa, Khartoum, Sudan.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
error: Content is protected !!
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
%d