Saturday, July 27, 2024
Sejarah

Sejarah hubungan khilafah Turki Utsmani dan Nusantara

hubungan khilafah Turki Utsmani dan Nusantara
Peta Nusantara yang Dibuat oleh Ibrahim Müteferrika di Masa Turki Utsmani

TURKINESIA.NET, SEJARAH – Hubungan khilafah Turki Utsmani dan Nusantara serta kawasan Asia Tenggara lainnya mulai terjadi sekitar Abad XII, yaitu ketika orang-orang Turki Seljuk mulai berpartisipasi dalam kegiatan perdagangan internasional antara Asia Barat dan China, mengikuti para pedagang Muslim Arab, Persia, dan India yang telah datang terlebih dahulu.

Menurut sejarawan Turki, Affan Seljuk dan Ismail Hakki Goksoy, jauh sebelum Portugis datang ke Nusantara, hubungan Turki Seljuk dengan wilayah Asia Tenggara sudah tampak sejak Abad XII, ketika para pedagang Turki ini mulai berpartisipasi dalam perdagangan internasional antara Asia Barat dan China, bersama para pedagang Muslim Arab, Persia dan India pasca Kesultanan Turki Seljuk berkuasa atas seluruh wilayah Timur Tengah di paruh kedua Abad XI.

Para pedagang Turki yang tinggal di dekat Selat Khurmuz menempuh perjalanan kapal menuju China melalui Kepulauan Melayu pada periode terakhir Abbasiyah di Baghdad. Uka Tjandrasasmita mencatat bahwa di bawah kepemimpinan Sultan Seljuk, Kekhalifahan Abbasiyah terakhir, para pedagang Muslim Arab dan Turki datang di Leran, Gresik, Jawa Timur.

 

Catatan Ibnu Batutah

Kehadiran orang-orang Turki juga dicatat Ibnu Batuțah (1369M), – yang mengunjungi Kesultanan Samudera-Pasai, Sumatra Utara dalam perjalanan menuju China pada tahun 1345 dan 1346M. Ibnu Bațuțah dalam Rihlah-nya mencatat tradisi kenegaraan kesultanan ini mirip dengan kesultanan Turki dan Delhi, India. Ia juga menyebut bertemu dengan ratu yang pandai berbicara Bahasa Turki di Thawalisi. Nama ratu tersebut dalam ejaan Turki adalah Urduja dan ia menjelaskan negeri yang disebutnya Thawalisi sebagai:

“Adalah negeri yang luas, dan rajanya berani menantang Kaisar China. Dia memiliki sejumlah besar kapal (junk), dan dengan ini ia akan melawan China, sampai mereka menawarkan perdamaian. Kebanyakan penduduknya masih musyrik. Mereka tampan dalam penampilan dan menyerupai orang Turki. Warna kulit mereka lebih ke arah kekuningan seperti warna tembaga. Mereka memiliki keberanian dan kekuatan yang luar biasa. Perempuan mereka pandai naik kuda, cermat dalam melempar lembing, dan seperti pria ketika dalam pertempuran. Kami dimasukkan ke salah satu kota pelabuhan yang indah dan besar di kota Kailukiri. Terlihat hulubalang (para pengawal) yang hilir mudik di kota dan setiap yang datang ke kota ini membawa hadiah untuk anak raja. Pemangku wilayah kota adalah saudara perempuan raja yang bernama Urdüjä.” (Muhammad ibn Abdullāh Ibn Batutah, Rihlah Ibn Batutah, Tuhfatun Nuzzär fi Garā’ib alTii’ih al-Amsär wa A’aib al-Asfar. Muhammad as-Sa’id Muhammad az-Zaini (pentahqiq).

Ibn Batutah juga menceritakan bahwa ratu ini baik akhlaknya, sopan, pandai bercakap dalam bahasa Turki, dan beragama Islam. Riủlah-nya Ibn Bațuțah membuat semakin tersiarnya agama Islam di negeri-negeri Timur Jauh dan Nusantara, terutama ketika ia bertemu Sultan Samudra Pasai, Sultān Mālik az-Zāhir pada tahun 745H/1345M. Lawatan ini memberikan cara pandang yang lebih global atas negeri-negeri Muslim di seluruh dunia.

Di masa-masa setelahnya, jaringan ulama dan juga persaudaraan kaum Muslim di Barat dan Timur selalu terjaga. Sultān Mālik az  Zāhir, menurut Ibn Batuțah, seorang raja yang kuat dan bermadzhab Syafi’i. Ia sangat menghormati para ulama. Ia mempunyai seorang mufti bernama Qadhi Syarif Amir Sayyid asy-Syirāzī dan Tajuddīn alIsfahanī. Ibn Bațuțah mencatat bahwa ia tinggal dua pekan di Samudra Pasai, tetapi mungkin lebih lama dari waktu itu karena ia tidak pergi ke China sampai kira-kira April 1346 M, yakni ketika musim Barat Daya berhembus dan kapal-kapal mulai menuju Kanton (China). (The Adventure of Ibn Batutah, Dunn).

Keberhasilan rihlah dakwah Ibn Batutah yang mengunjungi negeri-negeri Islam di Timur pada pertengahan Abad XIV, seperti India, China, Kamboja dan Champa, menurut Donald Maclaine Campbell, juga menjadi pijakan penting dakwah Islam di negeri-negeri Samudera India. Duta-duta Islam juga dikirim ke negeri-negeri lain, khususnya negeri Islam.

Di Delhi (India), Ibn Bațuțah bertemu Amir Daulah, seorang utusan Pasai di India. Sultan Pasai pernah mengirimkan utusan ke Quilon, sebuah kota di Pantai Malabar bagian selatan, pada tahun 1282M. Saat ia di Kanton (China), Ibn Bațuțah melihat kapal Sultan Pasai dan bertemu utusan Pasai di China. Pengiriman duta-duta Pasai juga tetap berlanjut hingga Pasai ditundukkan Portugis (1521M).

Tome Pires menyebutkan bahwa utusan Pasai rutin datang ke China untuk menyerahkan upeti. Demikian pula duta-duta Malaka, Jawa, dan Siam setiap lima tahun sekali mengirimkan barang-barang terbaik dari negaranya, yang menurut pengetahuan mereka disukai orang-orang China.

Ini membuktikan bahwa Pasai memiliki relasi yang luas dengan kerajaan luar. Jaringan antar ulama yang semakin luas dan efektif. inilah yang merupakan faktor utama penyebab kesuksesan para ulama serta wali dalam penyebaran Islam di tanah Jawa.

The King of Java, the King of Siam, the King of Pase, the King of Malacca. These send their ambassadors with the seal of China to the king of China every five years and every ten years, and each one sends him the best there is in his country of what he knows they like there.

(Raja Jawa, raja Siam, raja Pase, raja Malaka. Mereka mengirim duta besar mereka dengan meterai Tiongkok kepada raja China setiap lima tahun dan setiap sepuluh tahun, dan masing-masing mengiriminya yang terbaik di negaranya dari apa yang dia tahu mereka sukai di sana).”

 

Masyarakat Turki di Samudera Pasai

Demikian pula, terdapat bukti lain terkait hubungan Nusantara dalam pengaruh kebudayaan Turki di Sumatera Utara. Ismail Hakki Goksoy mencatat pemakaian nama-nama dan gelar Sultan Mamalik oleh para sultan Samudera Pasai pada akhir Abad XIII seperti Mālik aş-Şālih dan Malik az-Zahir ini membuktikan kedekatan hubungan antara Sumatera dengan Asia Barat, terutama Semenanjung Arab dan Mesir. (Ottoman-Aceh Relation, Goskoy).

Denys Lombard juga mencatat bahwa orang-orang Turki yang telah memiliki agen di Pasai yang membeli lada untuk perdagangan mereka di Laut Tengah, pada tahun 1537-1538–pada waktu Sulaiman Pasha melakukan ekspedisi perlawanan kepada Portugis di Diu- mengirim bala bantuan berupa 300 orang tentara dan ahli senjata Turki kepada Sultan Aceh. (Nusa Jawa, Denys Lombar)

Sebelum zaman Suleiman yang Agung itu, kehadiran para para pedagang Turki di daerah ini juga terekam dalam catatan sumber  sumber Portugis. Misalnya kunjungan Tome Pires ke Pasai tahun 1511 yang mencatat bahwa Kota Pasai adalah sebuah kota yang kuat, makmur dan kosmopolitan. Jumlah penduduknya tidak kurang dari 20.000 orang.

Ia juga mencatat bahwa di Pasai terdapat banyak pedagang asing dari India, Asia Barat, dan di antara mereka ada yang mendapat sebutan “Rumi” atau orang Turki. Para pedagang berasal dari Kairo, Aden, dan Khurmuz, mereka pertama kali mendarat di pelabuhan Gujarat, India kemudian berlayar sampai Sumatera dan Malaka.

 

Turki Penyeimbang Kekuatan Portugis

Turki yang sedang bangkit sebagai kekuatan dunia Islam memainkan peran pentingnya pada jalur perdagangan Samudera Hindia, menggantikan posisi bangsa Arab sebelumnya. Pengaruh Turki Utsmani pasca direbutnya Konstantinopel tidak hanya berhenti pada perebuta perebutan pengaruh dengan Portugis dalam perdagangan tetapi berlanjut dengan meningkatnya citra Turki Utsmani yang sangat terasa di negeri-negeri Islam di Samudera Hindia dan santara. Turki Utsmani memposisikan dirinya sebagai pemimpin dunia Islam.

Kaum Muslim segera menyadari bahwa datangnya penjajah Portugis, membuat mereka bersatu untuk menghadapi “musuh bersama”. Kesultanan-kesultanan Islam memulai hubungan yang lebih kosmopolitan dengan dunia Islam, khususnya membangun kerjasama baru dalam bidang pertahanan dan militer dengan Turki Utsmani.

Tidak lama setelah penaklukan Konstantinopel, para sultan Turki mulai menggunakan armada laut sebagai sarana untuk melakukan penaklukan, Mitylene (1462), dan Negroponte (1470), yang merupakan kota-kota dekat perbatasan Turki di Yunani.

Persiapan-persiapan kekuatan armada laut ini menandai sebuah tahap penting dalam munculnya Turki Utsmani sebagai sebuah kekuatan maritim, bersamaan dengan ekspansi wilayah Turki ke bagian barat Laut Tengah. Turki Utsmani juga membentuk Angkatan Laut untuk kawasan Suez dan Samudera Hindia untuk membendung kekuatan militer Portugis. Kekuatan militer Turki dapat menguasai wilayah Asia, Afrika, maupun Eropa dengan cepat.51

Turki Utsmani memutuskan untuk memenuhi permintaan kesultanan-kesultanan di Samudera Hindia sebagai sebuah kebijakan umum negara. Kebijakan ini dilatarbelakangi oleh tindak kedzaliman Portugis terhadap kaum Muslim di Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Kesultanan-kesultanan di wilayah ini, yang tidak memiliki kekuatan militer yang cukup untuk melawan invasi Port meminta bantuan Turki Utsmani. Turki berkepentingan terhadap perdagangan rempah-rempah Asia dan Eropa karena mendapatkan cukai pajak dan harga yang wajar dari pedagang Asia, tidak seperti jika ada monopoli harga dari Portugis. Kota-kota perdagangan di Suriah dan Mesir, yang saat itu telah tunduk dalam kekuasaan Turki Utsmani juga mendapatkan keuntungan. Turki Utsmani ingin menjadikan Khurmuz di Teluk Basra sebagai pintu gerbang menuju Asia Selatan dan Kepulauan Maluku.

Para saudagar Islam dari Khurmuz memiliki masyarakat dagang campuran Persia-Arab. Mereka membawa kuda, karpet, mutiara, emas, perak, tembaga, sutra, air mawar, kismis, benih, biji-bijian, dan tawas ke India. Di pelabuhan Khurmuz terjadi jual beli barang-barang yang berasal dari Asia Timur dan Malaya-Indonesia dengan barang-barang yang berasal dari Arab, Suriah, dan dari pesisir timur Afrika, Turki, Armenia, Kairo, dan barang dari Eropa.

Pada tahun 916 H/1512M, Salim bin Bayazid atau dikenal dengan Salim I menduduki tahta Kesultanan Turki Utsmani. Gerak perluasan wilayah Turki Utsmani mengalami perubahan dari Eropa menuju Arab dan Timur (Nusantara). Di masa pemerintahannya, Sultan Salim I harus berhadapan dengan Daulah Shafawiyyah yang baru saja muncul di Iran pada awal Abad XVI (1501 M).

 

Hubungan Turki-Aceh

Selanjutnya, kerjasama Turki-Aceh terjadi saat para prajurit Turki bersama Aceh kembali muncul pada tahun 957 H/1547 M, saat mereka secara bersama-sama menyerang Portugis dl Malaka. Tetapi, menurut Ismail Hakki Göksoy, secara resmi hubungan Turki Utsmani dan Aceh baru terjadi pada tahun 1560-an dengan ditandai pengiriman duta pertama  Aceh yang tiba di Istanbul pada pemerintahan Suleiman Agung,

Anthony Reid mencatat bahwa Sultan Alauddin mengirim duta ke Turki pada 1564 M dengan membawa berbagai hadiah untuk Khalifah Suleiman dan menjanjikan rempah-rempah dari wilayah Indonesia jika Malaka kembali ke tangan Islam.

Suleiman Agung segera menjawab permohonan bantuan itu dengan mengirim 500 prajurit, meriam, ahli teknik, dan ahli artileri Turki dari Mesir.

Pengiriman duta Aceh ke Istanbul berlanjut pada masa Khalifah Salim II (1566-1574M). Göksoy mencatat duta Aceh membawa surat yang isinya bahwa telah terjadi penangkapan kapal-kapal berbendera Islam oleh Portugis yang membawa jamaah haji.

When an Aceh ship, loaded with black pepper, silk thread, cinnamon, cloves, camphor and other valuable products of the region, was sent to Mecca in 972H (1564-1565), it was attacked near certain islands by the Portuguese, with three galleons and seven galleys, and the fighting lasted for 4 days and nights; in the end Aceh ship was sunk by the Portuguese with a distance cannon-shot. Some 500 Muslims died in the Ocean and others were made slaves.”

(Sebuah kapal Aceh yang penuh lada hitam, benang sutera, kayu manis, cengkeh, kapur barus dan produk-produk berharga lainnya dikirim ke Mekah tahun 972H/(1564-5), diserang oleh Portugis dengan tiga kapal perang dan tujuh kapal penumpang. Pertempuran itu berlangsung selama 4 hari dan malam. Kapal Aceh ditenggelamkan oleh Portugis dengan tembakan meriam jarak jauh. Sekitar 500 Muslim tewas di lautan dan yang lainnya dijadikan budak). (Ottoman-Aceh Relation, Goskoy)

Aceh memperkuat armada perangnya berkat kemajuan perdagangan merica yang meningkat. Sebagian besar rempah-rempah pedagang Muslim diangkut ke Barat melalui Aceh. Pada tahun 1560-an perkebunan lada yang baru dibuka di Tiku, Pariaman, dan Indrapura di pantai barat Sumatra di bawah kendali Aceh

Selain itu, pedagang Islam dari Jepara dan Ternate terus mengikis kendali Portugis atas perdagangan rempah-rempah Maluku, terutama sejak tahun 1550-an hingga Portugis keluar dari Maluku (1575M). Hall mencatat antara tahun 1529 dan 1587, Aceh berusaha merebut Malaka dengan kekuatan dagang dan dukungan internasional.

“Achinese made attempt after attempt to capture Malacca. The biggest of these occurred in 1558, when an armada of 300 war-boats, with 15.000 troops and 400 artilleryman from Turkey, besieged the city for a month. The years 1570 to 1575 were a critical period, when, in addition to three major Achinese attacks, the city had to meet a dangerous attack launched in 1574 by Javanese state of Japara.”

(Orang-orang Aceh melakukan upaya terus menerus untuk merebut Malaka. Usaha terbesar terjadi pada 1558, ketika armada laut Aceh dengan kekuatan 300 kapal perang, 15.000 tentara, dan 400 artileri dari Turki mengepung kota Malaka selama sebulan. Malaka mengalami masa kritis antara tahun 1570 hingga 1575 ketika tiga kali Aceh menyerangnya dan serangan yang lebih berbahaya dari Japara pada 1574).58

Setelah Khalifah Suleiman Agung wafat (1566), pada tahun 1567 Khalifah Salim II berencana mengirim ekspedisi sebuah armada ke Sumatra yang dipimpin oleh Laksamana Kurtoglu Hizir Reis ke Aceh. Ekspedisi tersebut batal karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman, namun persenjataan dan teknisi militer Turki berhasil tiba di Aceh. Schrieke mencatat di antara para kru yang mengoperasikan armada yang menyerang Malaka pada Januari 1568, ada sejumlah orang Malabar, dan 400 orang Turki.

Sejarawan Turki, Göksoy mengutip catatan Portugis bahwa mulai tahun 990 H/1582M secara rutin Aceh mengirim utusan beserta sejumlah hadiah seperti: emas, batu mulia, rempah-rempah, dan parfum kepada Sultan Utsmani

Sebagai balasannya, Turki Utsmani memberikan bantuan militer kepada negeri-negeri Islam di kawasan Samudera Hindia dan Nusantara, terutama Aceh, Jawa, Melayu, dan lain-lain hingga utusan Aceh terakhir tahun 1873 ke Istanbul, menjelang serangan Belanda ke Aceh yang berlangsung selama 30 tahun sesudahnya.*/Dr. Kasori Mujahid,  “Di Bawah Panji Estergon” (Hubungan Kekhalifahan Turki Utsmani dengan Kesultanan Demak) pada Abad XV-XVI M.

Sumber: Hidayatullah

3 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x